SERING DIBACA

Posted by : adminpenulis Senin, 14 Agustus 2023


Disclaimer! Penulis bukan bagian dari pendukung salah satu Bacapres/Capres

Keterasingan bisa jadi kebisingan, manakala “ketidak dianggapan” terus diproduksi atau diviralkan hingga dianggap jadi biasa. Saat ini, sepertinya dan memang kenyataannya, proses itu tengah berjalan. TV/kanal-kanal YouTube, baik yang pribadi maupun yang berafiliasi dengan organisasi, komunitas, atau lembaga, sibuk dan terjebak atau menjebak kita untuk ikut mendiskusikan tentang politik dua calon tunggal peserta Pilpres 2024. Perpolitikan kita seakan-akan Indonesia sedang mempersiapkan hanya ada dua pasang bakal capres.

Saat ini, sepertinya dan memang kenyataannya pula, proses itu tengah berjalan. Televisi dan kanal-kanal YouTube, baik yang pribadi maupun yang berafiliasi dengan organisasi, komunitas, atau lembaga tertentu, sibuk dan terjebak atau menjebak kita untuk ikut mendiskusikan tentang politik dua calon tunggal peserta Pemilihan Presiden 2024. Perpolitikan kita seakan-akan Indonesia sedang mempersiapkan hanya ada dua pasang bakal calon presiden dan wakil presiden.

Dalam beberapa talk show tayangan debat di stasiun televisi, berjudul dengan narasi yang menyebutkan dari tiga bakal pasang menjadi dua bakal pasang, Prabowo-Ganjar atau sebaliknya, dalam konteks tema pilpres lain pun terus diproduksi dengan berputar-putar di dua nama itu-itu saja.

Sementara itu, kita saksikan, ada lebih dari satu stasiun televisi yang memuat dengan judul yang hampir sama, narasumber partai yang hampir sama, pengamat yang hampir sama pula, seakan-akan pilpres ini hanya diikuti oleh dua orang kontestan atau jagoan saja. Jujur saja, apa yang kita lihat dan dengar ini, diakui atau tidak, sudah mulai terasa memuakkan.

Dua Figur Dominan, Apa Kabar Anis?
Judul yang mengundang tanya ini terkesan dipaksakan, seolah meniadakan satu sosok lain (Anis) yang padahal juga bagian dari kontestan pilpres. Dari diskusi ke diskusi, dari agenda ke agenda, kanal-kanal media sibuk dengan narasi-narasi diskusi debat yang tetap berkutat pada dua figur, Prabowo dan Ganjar. Media seakan termonopoli oleh dua orang tersebut. Apakah kondisi ini disengaja atau tanpa kesengajaan? Memang politik dinamis, tapi menarik juga jika kita mendiskusikan tentang fenomena ini.

Dominannya isu pilpres di mana penguasaan dua nama figur di lini-lini talk show dan diskusi-diskusi yang sudah banyak dipublikasikan menimbulkan ruang pertanyaan. Apakah ini diskriminasi, atau memang kita biasa terjebak pada rating survei hingga dianggap jadi sebuah kesimpulan menarik untuk didiskusikan di warung-warung kopi atau di beranda studio dengan sorotan kamera? Tema pagi, siang, sore, atau malam, sesi atau episode kali ini, pesta demokrasi pilpres pilihannya hanya milik dua nama, Prabowo-Ganjar atau sebaliknya Ganjar-Prabowo, dengan sub-sub judul beragam.

Sepertinya kita lupa satu momen peristiwa pada Pilkada DKI Jakarta 2017 beberapa tahun silam, ataukah kita memang malas belajar dari sebuah tragedi euforia kita dari survei di masa itu, yang akhirnya kita, masyarakat biasa, akademisi, politikus partai, pengamat dibuat malu pada hasil yang di luar dugaan. Bahkan di luar itu, munculnya “untrusted” (ketidakpercayaan) pada lembaga-lembaga survei pasca kemenangan Anis-Sandiaga Uno di Pilgub DKI.

Terlena oleh Survei, Lupa dengan Realitas
Walaupun prosesnya cukup panjang hingga terjadi dua kali putaran Pilkada, tetapi faktanya tetap tak terbantahkan bahwa kita sering kali lalai dan terlena oleh survei, oleh kesibukan pikiran kita, oleh kekeliruan kita karena terjebak, keinginan dan harapan, oleh pengamatan yang dilandasi adanya dukungan menyimpan satu/dua kategori nama dan tentunya oleh rasa sentimental kita.

Apakah kondisi ini cukup rasional, apakah ini diskriminasi, atau karena kita sebenarnya belum mampu memetakan sebuah pengamatan terhadap sebuah isu yang kebetulan isunya lagi-lagi terhadap sebuah pilihan yang berkaitan dengan pilihan politik atau kita memang sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk memberikan sebuah penilaian, untuk mendiskusikan sebuah pilihan tertentu.

Mungkinkah Ada Diskriminasi dan Selera Pasar
Ketika kita berbicara tentang diskriminasi dan identitas, kita tidak bisa mengabaikan konteks di mana kita dan media selalu mengangkat dua pasangan nama (Prabowo-Ganjar/Ganjar-Prabowo) sebagai peserta pilpres. Pada hakikatnya, kita secara tidak langsung sedang terlibat dalam diskriminasi diskusi (jika boleh dikatakan demikian), kita lupa, kita menyangkal adanya fakta tiga pasang nama, tapi kita seenaknya menghakimi bahwa pilihan masyarakat hanya terbatas pada dua pasangan tersebut.

Keadaan ini sebenarnya kurang mengedukasi dalam pemahaman tentang politik, walaupun itu menjadi hak dari setiap tema yang akan diangkat. Namun tentunya, jika dipikir-pikir ulang, sangatlah memprihatinkan. Lagi dan lagi, sepertinya ada pengaburan, pengabaian, dan pengingkaran adanya tiga nama bakal capres. Apakah ini agenda pengebirian ataukah dengan memasang sub judul tiga nama kurang relevan di pasar konten penonton peminat isu politik?

Jika bicaranya dalam konteks identitas, maka saat ini yang sedang dan telah terjadi adalah pemaksaan publikasi pada dua identitas personal bakal capres. Ingat, misi mengasingkan satu sosok seakan ditiadakan dalam panggung-panggung debat diskusi. Pada akhirnya, hal ini akan membuat kebisingan. Ketika “ketidak dianggapan terus coba dipropagandakan”, maka bukan tidak mungkin kemenangan bisa saja berpihak kepada yang tidak diberi tempat. Wallahu a’lam.

 -portalcisarua14/8/2023-



Tinggalkan Jejak Komentar

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © salcenter.id - salcente.id - Powered by Blogger - Designed by salcenter -