SERING DIBACA

Posted by : kontributor Minggu, 06 Agustus 2023


Ada batas waktu, pagi akan berakhir siang, siang berakhir sore, sore berakhir malam, dan pada akhirnya malampun kembali berakhir jadi pagi. 


Tak ada setiap generasi yang menginginkan generasi ke generasi menjalani kehidupan dengan beragam hiperbola yang mengandung umpatan yang merendahkan, terlebih umpatan terucap dari manusia-manusia terpilih yang jadi pusat perhatian. 


Kita adalah manusia timur, dengan adat budaya dan agama yang menjunjung tinggi bagaimana menempatkan kesakralan dalam penghormatan lintas kehidupan. Kita sepakat bahwa kondisi azas-azas penghormatan bukan berarti harus mengkultuskan. Keberadaban adalah dimana kita mampu menjaga dan menempatkan setiap yang ada pada tempatnya hingga bisa diwariskan pada yang selanjutnya. 


Ungkapan yang berhiperbola lebih dari konteks memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung siapa yang menarasikan, jika yang menarasikan adalah masyarakat biasa tidak memiliki jangkauan pengaruh memiliki 'sense' biasa-biasa saja. Namun, tentunya, narasi yang disampaikan satu manusia dengan pengaruh yang luas biasa maka implikasi yang dihasilkan memiliki side siffect luar biasa. 


Side effect tiru meniru terjadi tidak hanya pada ruang private tapi juga pada kehidupan publik. Melunturkan keberadaban, mengikis rasa toleransi atau penghormatan bahkan puncaknya bisa saja membiaskan dogma-dogma agama yang dimana agama memberi pengajaran tentang etika kesantunan. Kita tidak ingin melihat kesemrautan manusia dengan kehidupan liar.


Sentimentil menjadi biasa, ungkapan yang bukan lagi mengarah pada kapasitas tapi lebih ke personal itu bisa membawa tatanan keadaban kita sebagai manusia menjadi lebih buruk, bahkan lebih dari itu membunuh kebiasaan rasa batas kita sebagai manusia, merusak dan merobek-robek nalar hingga bisa berakhir pada puncaknya meniadakan kita pada cara berpandang realita sebagai manusia yang harus mengakui keberagaman perbedaan. 


Kita sadar kritik harus pada tempat dan konsepnya, mengkritisi akan terlihat elegan jika memiliki dasar yang jelas. Namun sekali lagi, bukan berarti narasi yang membabi buta dengan kandungan diksi-diksi kebencian yang teramat memilukan yang bisa berdampak rusaknya moral kita sebagai manusia kita ikuti . Kitapun perlu otokritik sebagai pondasi dasar adanya usaha dan cara bagaimna membenahi diri kita sebelum bernarasi tentang yang lain. 


Menakar

Kritik adalah respon dari suatu penilaian yang objektif bukan subjektif, logis dan mampu diterima oleh setiap orang, respon itu memang layak diberikan terhadap suatu keadaan yang dianggap bisa melahirkan potensi sebab akibat pada suatu masalah.


Tidak ada yang aneh, bahwa kebebasan berekspresi harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan batas kita dalam berprilaku dan berprikemanusiaan. Kebebasan merupakan fase dari rasa bebas dengan memberikan ruang-ruang penghormatan bagaimana pada akhirnya kebebasan itu tercipta, kebebasan lahir dari rahim penghormatan yang bersifat ekpresif dengan segala bentuk ekspresinya. 


Kebebasan harus tetap menempatkan kemuliaan, kemuliaan disini adalah penghormatan pada terciptanya rasa bebas, jika rasa bebas diperjuangkan tapi tidak melihat konteks batas-batas maka ia bukan sebuah kebebasan. Ada tanggungjawab ada konsekuensi ada etika, ketika keinginan kebebasan yang di agungkan haruslah tanpa memasung hak yang menentang kebebasan itu sendiri. Tapi itulah realita bahwa keinginan harus menghormati dari yang tidak menginginkan. Kita adalah entitas manusia yang memiliki peran berpikir.


Bebas, bukan selalu berartian demokrasi tanpa konsekuensi dan sebuah kebebasan yang benar-bebas. Jika satu pihak memperjuangkan tentang sebuah sistem kehidupan yang demokratis/bebas maka pihak inipun harus menghormati kaidah-kaidah aturan yang diberikan/dibuat dari yang menentang (pro demokrasi harus menghormati anti demokrasi). Jika sudah saling memahami maka akan timbul saling penghormatan. Dalam prosesnya rasa penghormatan yang tercipta ini secara tidak langsung akan menciptakan sebuah proses dan tatanan lain yang artinya ada batas-batas tertentu tanpa harus menimbulkan pergeseran atau friksi yang justru bersifat paradoks.


Kembali pada konteks tentang sikap ekspresi, opini atau pendapat, maka titik temu dari perjalanan narasi ini adalah, bahwa kebebasan beretorika harus siap dengan suatu konsekuensi, dan konsekuensi itu harus diterima dan menghormati kebebasn dalam persoalan adanya pertentangan lain. Satu dengan kebebasan satu lagi dengan alibi kebebasan untuk tetap memelihara aturan dan batasan.


Sebuah proses ruwet dan terkesan berputar-putar, selama proses penulisan ini dibuat, dan saya sedangpun berpikir bagaimana memola ini dan itu, tentang, apakah perlu atau tidaknya sebuah aturan batas berkebebasan ? karena jika ada yang mengatakan tidak perlu, sama artinya memiliki pertentang pada pemahaman kebebasan itu sendiri. 

Tinggalkan Jejak Komentar

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © salcenter.id - salcente.id - Powered by Blogger - Designed by salcenter -